Tulisan ini terispirasi saat selepas pertemuan Bincang Sastra bersama para teman dan sahabat dari Komunitas JPK (Jaring Penulis Kaltim), dimana saya menemani teman2 untuk sejenak melihat-lihat Bendungan Benanga, dan saat itulah terlintas untuk mengabadikan kisah jebolnya dinding Waduk Benanga di tahun 1998 dengan sedikit menambahkan kisah cinta di dalamnya. Berharap semakin Banyak Pustakawan yang mau bergabung untuk memajukan dunia literasi.
Tokoh pada kisah ini fiktif belaka, jika ada persamaan tokoh dan karakter itu hanya satu kebetulan semata
Samad lahir dan dibesarkan dikota samarinda, panggilannya Sama karena orang bugis memiliki kebiasaqan mengurangi dan melebihkan huruf belakang, itu karena pengaruh dialeg bahasa daerah saja. Tak seperti hari biasanya sangat riang karena hari ini niatnya untuk Perpustakaan Daerah mengajak sang kekasih Rinda Anum di setujui oleh rinda, walaupun sedikit Modus didalamnya.
Rinda
adalah wanita yang selama ini dikaguminya, selain cantik, pintar dan yang pasti
mereka memiliki hobby yang sama yaitu membaca. Berbagai strategipun
dijalankannya demi mendapat tempat di hati sang kekasih. (“Emang muat klo Sama
dimasukkan ke dalam hati rinda?, sudahlah...)
Menjadi
nyamuk diantara mereka membuatku sedikit iri, tapi untuk berbuat baik agar Sama
bisa mendapat kekasih pujaan hatinya membuatku rela berteman dengan
nyamuk-nyamuk yang sesekali menyapaku.
Selepas
magrib Samad sudah menjemputku untuk menemaninya menjemput Rinda sang Pujaan
hati.
“Assalamu
Alaikum”, Sama ucapkan sembari mengetuk pintu
“Wa’alaikum
salam “, balas ibu Rinda membukakan kami pintu
“Silahkan
masuk nak, Rinda sedang bersiap-siap dikamarnya, emangnya kalian mau kemana”, tanya
ibu Rinda
“Aanu
bu kami mau kekantor Perpustakaan Daerah mencari materi tugas Kampus”, jawabku
berbohong (untuk apa yo aku berbohong demi Sama teman sepermainanku saat masih
kecil, sabar...sabar.... , maaf bu sudah membohongi ibu, itu calon menantu ibu
kelak, ya... walaupun belum pasti sih, karena jodoh ditangan Tuhan)
Tak perlu
menunggu lama Rinda pun mucul dengan senyumnya yang khas yang membuat hati Sama
dipenuhi bunga. Klepek-klepek tidak karuan.
Hanya butuh
waktu 10 menit untuk sampai dikantor Perpustakaan Daerah, saat mulai memarkirkan
mobilnya halaman perpustakaan sudah banjir semata kaki. Ya memang beberapa hari
ini Kota Samarinda diguyur hujan, mungkin itulah sebab mengapa malam ini
halaman parkir banjir.
Kamipun
bergegas masuk menuju lantai 2 tempat peminjaman buku. Sama dan Rinda pun
memilih-milih buku yang ingin mereka baca, aku memilih buku ditempat yang
terpisah, setelah mendpat buku yang kuinginkan, akupun mengambil meja baca yang
berada dekat tangga naik, tujuan biar bisa memandang dari jauh Sama dan Rinda
serta mengetahui situasi terkini tentang kondisi banjir diparkiran tadi.
Satu persatu
pengunjung yang naik bercerita tentang kondisi dibawah, saat ini jam sudah
menunjukkan pukul sembilan dan informasi yang kudapat dari pengunjung lainnya
kondisi ketinggian air diparkiran telah mencapai betis orang dewasa. Akupun
diliputi perasaan cemas, khawatir gak bisa pulang, kok bisa ya Samarinda banjir
dan mengkhawatirkan diriku. Kuamati dari kejauhan Sama dan Rinda masih asyik
bercengkrama, yakin 1000 persen dah kalo ditanya apa isi buku yang mereka baca
saat ini, mesti gak tau karena hati mereka di penuhi lope lope.
Jam sudah
menunjuk angka sembilan akupun menghampiri Sama dan Rinda (kok seperti satpol
PP ya) mengajak mereka pulang karena sudah malam dan banjir sudah semakin
menghawatirkan, kami pun bergegas meninggalkan Perpustakaan Daerah tuk kembali
pulang kerumah masing-masing.
Keesokan
harinya saat bangun pagi, berita di TV sangat ramai memberitakan banjir besar
yang dialami hampir sebagian kota Samarinda, kebetulan rumahku di Asrama Korem
jalan Awang Long tidak terkena dampak banjir saat itu, menurut ibuku jalan
Ahmad Dahlan dan sekitarnya sangat parah
apalagi di daerah Pemuda. Akupun langsung kerumah Sama mengabarkan berita yang
kudengar karena Rinda beralamat di Jalan Ahmad Dahlan.
“Sama, sudah
tahu berita belum”, aku membangunkan Sama yang masih lelap pulas dan malas di
tempat tidurnya. (begitulah aku dan Sama kami sudah seperti saudara, jika kerumahnya
aku seenaknya aja masuk dan tentu saja permisi sama tante sapaanku pada mamaknya
Sama untuk membangunkan anaknya yang malas.
“Mm. Berita
apa sih”, Ucapnya tetap dengan mata terpejam
“Tentang
Rinda”, sahutku sambil melemparkan bantal kemukanya
“Apa... ada
apa dengan Rinda..!”, ucapnya dengan semangat 45 langsung duduk
“Sama, Sama,
Klo sudah urusan Rinda, cepat sekali mata kau terbuka”, ucapku menggunakan
dialek mereka
Sambil
tersenyum Samapun bertanya padaku
“Ada apa
dengan Rinda”, tanyanya
“Rumahnya terendam
banjir sejak semalam”, ucapku
“Yau udah kita
kesana yuk”, ajak Sama
“Mandi dulu
gih.. kamu masih bau iler tau”, ucapku sambil meninggalkan Sama
Seperti biasa
bule jualan sayur lewat didepan asrama walaupun dagangannya tak sebanyak hari
biasa, akupun membeli beberapa sayuran yang tahan untuk disimpan didalam
kulkas, juga beberapa bungkus tempe dan tahu. Tepat pukul 9 pagi setelah berbelanja sembako dan bahan
pangan ala kadarnya saya dan Sama menuju rumah Rinda dengan berjalan kaki,
betul saja hari itu tak ada satupun kendaraan yang lewat, ketinggian air
mencapai paha orang dewasa, bersusah payah kami melewati banjir untuk
mengantarkan bahan pangan karena menurut Rinda pasar Rahmat pada hari itu tak
ada yang berjualan. Lumayan jauh perjalanan yang kami tempuh Awang Long – Ahmad
Dahlan. Sempat beberapa kali aku hampir terjatuh karena tak tahu jalan yang
kami lewati berlubang atau tidak.
Setibanya
dirumah Rinda, Ibu Rinda sangat Bahagia dengan kedatangan kami, bukan karena
calon menantunya si Sama yang datang, itu lebih karena kami membawa sembako dan
bahan makanan ala kadarnya dan beliau belum ada belanja sejak pagi. Dan
tentunya Ibu Rinda juga bahagian karena melihat ketulusan dihati kami berdua. Aku
dan Sama.
Kami mengamati
banjir melalui lantai dua Rumah Rinda, pemandangan yang unik yang tidak pernah
kami temui sebelumnya, dimana jalan raya di lewati sebuah ketinting dan perahu
karet. Sesekali lewat beberapa mobil truk yang mengantar bantuan pangan untuk
korban banjir. Yah selama ± 3 hari samarinda tergenang air yang menyebabkan
aktifitas kerja dan sekolah diliburkan.
Ternyata penyebab
samarinda digenangi banjir adalah jebolnya dinding bendungan Benanga yang
terletak di Lempake, Samarinda Utara. Kami bertigapun penasaran dan berencana
kelak jika sudah tak banjir lagi kami akan mendatangi Bendungan Benanga.
Hari yang
ditunggu pun tiba, setelah televisi memberitakan Dinding Bendungan telah
diperbaiki kami bertiga mengatur jadwal untuk wisata ke Benanga, dengan
berbekal apa adanya kami bertiga menuju Lempake dimana Bendungan Benanga
berada. Waktu tempuh dari kota ± 30 menit kamipun tiba, pemandangan asyik
terpampang didepan mata, banyak orang yang memancing di arus deras dan melempar
jaring di aliran air bendungan. Anak-anak sekitar yang panda berenang hanya
bermodalkan potongan kain kelambu menyaring air disaluran pintu kecil bendungan
dan luar biasa berbagi jenis ikan dia peroleh dari yang berukuran kecil hingga
besar.
Tak lama
diseberang bendungan terlihat seorang bapak yang kerepotan mengangkat
pancingnya ternyata seekor bulus berukuran Caping menggigit kailnya. Karena
berat, gandarnya diberikan pada kawan disebelahnya dan diapun mengambil bambu
dan membuat alat penangkap denghan bantuan potongan kain agar Bulus yang didapat
bisa mereka angkat ke atas.
Kamipun
mencari tempat untuk beristirahat agar dapat menikmati bekal yang kami bawa.
Saat itu banyak orang menyewakan tikar rotan bagi pengunjung yang rame datang
dan pulang silih berganti, penjual ikan dadakan pun sangat banyak, ya ikan
hasil mereka menjaring langsung dipasarkan saat itu juga. Banyak orang membuka
kios makan dadakan karena banyaknya jumlah pengunjung yang ingin melihat
Bendungan Benanga yang sudah menggoreskan sebuah kisah.
Sejak
peristiwa Banjir Tahun 1998 dan banyaknya jumlah pengunjung yang datang ke
Benanga setiap Akhir pekan, akhirnya Pemerintah
Kota Samarinda memutuskan untuk mejadikan Bendungan Benanga sebagai salah satu Objek
Wisata di Samarinda.
Dua tahun
sejak peristiwa banjir tersebut Sama dan Rinda pun meresmikan hubungan mereka
di Pelaminan, Saat itu Sama telah bekerja di Sebuah Bank Swasta terkenal dan
Rinda bekerja di sebuah Perusahaan Kayu Gelondongan. Mereka telah dikarunia
seorang putra dan Putri yang tampan dan cantik Dan aku sendiri bekerja sebagai
seorang Pustakawan di Perpustakaan Daerah dan sekarang telah memiliki tiga
anak. Hidupkupun bahagia tak kalah bahagianya dengan Sama dan Rinda. Dan sudah
tentu aku masih menang dalam satu hal karena memiliki tiga anak.♥♥♥